Akhir Mei 2014, saya berkesempatan pergi ke daerah Pearl Delta Cina, yaitu
kota Hong Kong, Macau dan Shenzhen yang termasuk dalam provinsi Guangzhou di
Tenggara Cina. Perjalanan ini menjadi spesial karena untuk pertama kalinya saya
menggunakan full service carrier
Garuda Indonesia, setelah sebelumnya selalu menggunakan low cost carrier grup AirAsia untuk perjalanan keluar negeri.
Kebetulan saya mendapatkan harga tiket promo pada pameran travel bulan Februari
lalu, US$290 atau sekitar Rp3.500.000,00 pulang-pergi.
Perjalanan menuju Bandar Udara Internasional Chek Lap Kok, Hong Kong
ditempuh 5 jam dari Jakarta. Saya pergi bersama teman saya Reza menggunakan
pesawat Garuda Indonesia A330, GA-876 dengan nomor pesawat PK-GPK dan take-off tepat waktu pukul 23.45 WIB.
Penerbangan malam itu tidak penuh penumpang, hanya terisi sekitar 70%. kami menempati kursi kedua paling belakang. Karena
banyak kursi yang kosong beberapa
penumpang pindah dari tempat duduk yang tertera dalam boarding pass mencari tempat duduk lain yang kosong. Pramugari
mengizinkan hal ini.
Sekitar pukul 05.30 waktu setempat, pesawat akhirnya mendarat di Bandar
Udara Internasional Hong Kong. Cuaca pagi itu mendung karena memang masih ada
depresi udara di Laut Cina Selatan yang berakibat pada tingginya curah hujan di
Pearl Delta seminggu terakhir ini. Pesawat kemudian terhubung dengan garbarata
dan penumpang segera disembarkasi. Setelah keluar pesawat kami duduk sebentar di ruang tunggu sembari mengisi kartu
kedatangan. Pada saat itulah saya menyadari ponsel saya tertinggal di kursi pesawat.
Saya lalu bergegas kembali ke pintu gerbang kedatangan, tapi sial, pintu
tersebut sudah tutup yang menandakan semua penumpang sudah turun. Setelah kami
mengisi kartu kedatangan dan keluar imigrasi serta bea cukai, saya lalu
bertanya ke bagian informasi dimana saya bisa mencari barang yang tertinggal di
pesawat. Oleh petugas saya diminta untuk menghubungi agen Garuda Indonesia di
bandara Hong Kong, yaitu Jardine yang
beralamat di Ruang 101, Lt. 6. Terminal 1 Bandar Udara Internasional Hong Kong.
Sesampainya di sana, petugas berusaha menghubungi petugas ground handling, namun belum ada laporan
dari awak pesawat Garuda Indonesia yang menemukan barang tertinggal di pesawat.
Saya lalu diminta untuk menghubungi mereka kembali nanti sore/malam dan diberikan
nomor telepon.
Tujuan pertama kami hari ini adalah kereta gantung Ngong Ping 360º yang
berlokasi di Pulau Lantau, masih satu pulau dengan Bandar Udara Internasional
Hong Kong. Tapi karena wahana tersebut baru buka pukul 10.00, saya menyempatkan
mandi di salah satu lounge bandara.
Biaya sewa bilik mandi di bandara ini cukup mahal, HK$200
atau sekitar Rp350.000,00. Waktunya pun dibatasi hanya 20 menit. Ini rekor mandi di bandara paling mahal yang pernah saya alami. Sebagai perbandingan di bandara Changi,
Singapura biaya sewa “hanya” SG$8 atau Rp80.000,00 sedangkan di bandara Kansai,
Jepang “hanya” ¥500 atau Rp50.000,00 untuk 30 menit.
Selesai mandi saya membeli Octopus Card on
loan, kartu prabayar multifungsi yang bisa digunakan membayar hampir apapun di Hong
Kong, mulai transportasi, belanja kelontong, hingga untuk beli makan di restoran. Tempat
yang disarankan untuk membeli Octopus Card adalah pusat pembelian di sebelah
utara bandara. Biaya pembelian untuk jenis on
loan (disewakan) adalah $150, yang terbagi atas biaya sewa HK$50 yang dapat
dikembalikan dan saldo HK$100 untuk digunakan. Jika masih ada sisa saldo, cukup
kembalikan ke tempat ini dan uang anda akan dikembalikan, hanya dipotong HK$9
untuk biaya administrasi. Saya menambahkan HK$200 lagi sebagai saldo.
Kami lalu naik bus Nomor 1 tujuan Ngong Ping. Hampir seluruh bus di Hong
Kong adalah bus tingkat, tapi kondisinya jauh lebih baik dibandingkan dengan
pengalaman saya naik bus tingkat di Jakarta pada awal 1990-an silam.
Pembayarannya bisa dengan uang cash atau Octopus Card. Jika tunai, harap
perhatikan tidak tersedia uang kembalian (atau mesin penukar receh seperti bus
di Jepang) dan tidak ada tanda terima (misalnya Rapid Penang di Malaysia), jadi
bayar dengan uang pas dan masukkan ke kotak uang di samping sopir.
Di Citygate Outlet, yaitu salah satu mall, kami menitipkan tas di loker koin di
lantai basement. Biayanya HK$40 untuk
4 jam. Mall Citygate Outlet dan loker ini populer di kalangan turis yang mengunjungi Hong Kong.
Menariknya saya bisa membayar sewa loker menggunakan Octopus Card.
Loker Koin di Basement Citygate Outlet Mall |
Dengan bawaan lebih ringan, kami lalu membeli tiket untuk naik kereta
gantung Ngong Ping 360º. Walaupun baru pukul 10.30, antrean sudah sangat
panjang. Kami akhirnya baru bisa naik salah satu kereta gantung pukul 11.30.
Untungnya pemandangan dalam perjalanan ke atas sepanjang 5,7 km indah dan memakan waktu 25
menit, jadi kami tidak merasa sia-sia mengantre lama.
Band Udara Internasional Hong Kong dilihat dari Kereta Gantung |
Dalam perjalanan ke atas hujan deras turun, tapi untungnya di desa
Ngong Ping cuaca hanya kabut tebal. Setelah turun, kami lalu bergegas untuk
berkeliling desa wisata ini. Tidak banyak yang bisa dilihat karena kabut. Kami
hanya mengunjungi Philosopher’s Path yaitu patok kayu raksasa yang dituliskan
108 sifat-sifat agung Buddha, dan Po Lin Monastery yaitu sebuah biara aktif di
desa Ngong Ping. Kami tidak mengunjungi Giant Buddha karena selain patungnya
tidak terlihat juga karena khawatir turun hujan deras sementara kami tidak
membawa payung.
Ngong Ping Village |
Philosopher's Walk |
Puas berkeliling kami segera turun. Berbeda ketika naik tadi dimana satu kereta diisi
10 orang, kereta kami sekarang hanya diisi kami berdua. Tidak ada antrean
sehingga kami bisa menikmati wahana ini. 25 menit kemudian, kami tiba di
stasiun awal. Antrean pengunjung tetap panjang seperti kami tinggalkan tadi.
Setelah mengambil kembali tas di loker, kami putuskan kembali ke bandara
untuk bertanya apakah ponsel saya sudah ditemukan. Sayangnya ketika saya cek ke sana tetap tidak ada laporan. Kembali saya diminta untuk menghubungi mereka malam hari nanti atau besok
pagi. Karena cukup lelah, akibat kurang tidur dan capek mengantre kereta gantung, kami
putuskan untuk check-in ke hotel.
Dari bandara kami naik bus A21 tujuan Tsim Sha Tsui. Karena cukup jauh dan tujuan kami ada di pulau
yang berbeda, perjalanan ditempuh selama hampir 1 jam.
Setelah turun di Nathan Road, Tsim Sha Shui, kami lalu mencari makan siang
dan menemukan Yoshinoya, sebuah restoran gyudon
yang akrab dengan kami karena pernah mencobanya di Jepang dan telah buka cabang juga di Indonesia. Setelah kenyang, kami lalu check-in
di Golden Crown Guesthouse yang berjarak hanya 50 meter dari restoran tersebut lalu beristirahat.
Malam harinya kami keluar makan malam katsu di Tonkichi Tonkatsu di Causeway
Bay, Central. Kami pergi pukul 19.30 dengan naik MTR melalui stasiun Tsim Sha Shui lalu turun di Causeway Bay. Agak sulit
menemukan gedung World Trade Center tempat restoran ini berlokasi, tapi berkat aplikasi
TripAdvisor kami bisa menemukannya.
Tonkatsu Premium |
Saya memesan Tonkatsu Premium seharga HK$198. Restoran ini menggunakan
minyak nabati untuk proses penggorengannya yang diklaim lebih sehat dibanding
dengan minyak goreng biasa. Menurut saya rasanya cukup lezat, daging terasa
lembut dan tidak terasa minyaknya. Jika dibandingkan dengan Rikku Tonkatsu di
Hakone, memang ukuran tonkatsu di restoran ini lebih kecil. Supnya pun biasa,
hanya berisi tahu dan rumput laut. Tapi untuk restoran katsu di luar Jepang,
cita rasanya lumayan.
Setelah kenyang, kami pun kembali ke hotel untuk beristirahat. Sebelum tidur, kami membeli tiket kapal ke Macau besok pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar