Perjalanan menuju Mui Ne dari Ho Chi Minh City menempuh jarak 214 km yang memakan waktu sekitar 6 jam, kami tiba di kota kecil di tepi Laut Cina Selatan pukul 02.00 dini hari. Kami belum sadar sepenuhnya ketika kondektur, yang ternyata adalah istri dari sopir bus tersebut, memberitahu bahwa kami telah tiba di tujuan kami, atau lebih tepatnya di depan hotel kami akan menginap malam harinya. Setelah kami turun dan barang-barang diturunkan, bus tersebut melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya. Saya baru sadar bahwa hanya rombongan kami yang turun di sini.
Beberapa tukang ojek berbicara dalam bahasa Inggris menawarkan jasa untuk mengantarkan kami ke tujuan. Kami menolak tawaran tersebut, karena kami sudah tiba di tujuan kami. Masih ada 4 jam sebelum pagi tiba dan 10 jam sebelum kami bisa check-in di hotel tersebut. Richard dan Mbak Tina lalu membangunkan penjaga hotel untuk mencoba negosiasi apakah kami bisa menggunakan kursi di depan lobi hotel untuk menaruh barang dan sejenak beristirahat. Ia mengiyakan, dan beberapa dari kami melanjutkan tidur yang terganggu.
Suasana Mui Ne Dini Hari
Saya, Ferry, Richard, Mbak Tina dan Reza lalu coba berkeliling ke sekitar hotel untuk melihat apakah ada yang bisa kami lakukan untuk menghabiskan malam. Sekitar 200 meter dari hotel ada Mui Mart, sebuah minimarket, yang buka 24 jam. Tadinya kami ingin memesan secangkir kopi hangat, namun pramuniaga yang berjaga tidak bisa mengoperasikan ketel listrik. Kami lalu membeli minuman dingin. Richard membeli minuman ringan yang belum pernah dicobanya, saya membeli Bir Saigon (kemudian saya menyesal tidak membeli merek lainnya). Sedangkan teman-teman lain membeli makanan ringan untuk menemani kami mengobrol di kursi yang disediakan di depan minimarket.
Minimarket Mui Mart
Satu jam kemudian, setelah kehabisan makanan, minuman dan bahan pembicaraan, kami kembali ke hotel. Ferry dan Reza memutuskan untuk tidur, namun Mbak Tina bergabung bersama saya dan Richard untuk berjalan kaki ke arah yang berlawanan dari letak minimarket. Ke arah tersebut adalah deretan hotel dan hostel dalam berbagai ukuran dan bentuk. Kami menghabiskan satu jam untuk berfoto-foto di masing-masing hotel tersebut.
Ketika jalan ini saya juga mengusung misi untuk mencari letak loket penjualan bus Phuong Trang yang akan kami gunakan untuk kembali ke Ho Chi Minh City, namun loket tersebut tidak terlihat (sore harinya saya baru tahu loket tersebut terletak 3 km dari hotel kami). Namun karena tidak juga ketemu, kami putuskan untuk menghabiskan waktu di hotel.
Saya lalu menunggu pagi di bibir pantai. Mulanya hanya sendiri, namun ketika fajar menyingsing, teman-teman mulai menemani. Matahari terbit di Laut Cina Selatan sangat indah. Di tengah laut, tampak beberapa keramba nelayan yang sedang mencari ikan. Bentuknya unik, mirip seperti baskom besar. Saya baru mengerti cara maju dan mundur baskom tersebut kemudian dari sebuah acara tv di stasiun BBC Knowledge.
Sunrise di Mui Ne
Nelayan Menjaring Ikan
Sekitar pukul 7, beberapa tamu hotel mulai bangun. Kami lalu coba untuk merayu resepsionis untuk
check in lebih awal jika ada kamar kosong. Sementara resepsionis mengusahakan hal tersebut kami sarapan di Joe's Cafe, sebuah cafe di Mui Ne yang cukup terkenal di kalangan wisatawan mancanegara. Dulunya cafe ini buka 24 jam, namun sejak beberapa bulan lalu hanya buka hingga tengah malam. Namun untungnya, cafe buka cukup pagi sehingga kami bisa sarapan. Makanan cukup mahal, namun tidak ada tempat makan lain yang terlihat selain di sini, kami tidak punya pilihan lain.
Zalora (Paris Mui Ne), hotel tempat kami menginap
Joe's Cafe. Photo Courtesy Richard
Setelah sarapan, kami lalu mencoba untuk mencari informasi tentang
tour setengah hari ke padang pasir di Mui Ne. Kami menemukan Victor Cafe, salah satu
travel agent. Setelah menawar cukup alot, kami menyewa jip untuk 7 orang dengan harga ₫700.000 atau sekitar Rp350.000.
Victor Cafe. Photo Courtesy Richard
Sekembalinya kami ke hotel, sekitar pukul 10.00, kami mendapat kabar baik. Beberapa tempat tidur sudah tersedia dan kami diizinkan untuk check in lebih awal. Sempat terjadi salah paham karena pihak hotel meminta paspor kami sebagai jaminan selama kami menginap, dengan berat hati kami menyerahkan paspor tersebut, tapi masalah akhirnya selesai.
Karena tour baru dimulai 14.00, kami putuskan untuk pergi ke kota terdekat dari Mui Ne, yaitu Phan Thiet. Kota ini adalah kota kecil yang penduduknya mayoritas adalah nelayan. Kami berangkat menggunakan bus lokal seharga ₫13.000/orang. Jalanan menuju Phan Thiet sungguh indah, bus meliuk-liuk di bibir pantai yang ditumbuhi puluhan pohon palem. Sekilas tempat ini terlihat mirip dengan Pantai California yang beberapa kali saya saksikan melalui film. 30 menit kemudian kami tiba di tujuan.
Mui Ne. Photo Courtesy Richard
Bus Kota Mui Ne - Phan Thiet. Photo Courtesy Richard
Bingung dengan tempat yang akan kami kunjungi, pertama kali kami masuk ke sebuah mall di tengah kota. Niat awal ingin mendinginkan tubuh dari terik matahari siang yang menyengat. Kami sempat berkeliling mengunjungi setiap lantai. Tapi karena ukuran mall yang tidak besar, sebentar saja kami di dalamnya. Setelahnya, kami keluar dan menuju ke tempat lain.
Supermarket di Phan Thiet. Photo Courtesy Richard
Interior Supermarket. Photo Courtesy Richard
Kami sempat terpikir untuk kembali ke Mui Ne karena melihat sudah tidak ada tempat lain lagi yang bisa dikunjungi. Mendadak seseorang memanggil kami, ternyata seorang turis Eropa/Amerika. Ia menyarankan kami untuk mengunjungi '
Skeleton Temple' (Kuil Tengkorak) yang letaknya tidak jauh, sekitar 2-3 km berjalan kaki. Tertarik, kami lalu bergegas ke arah yang ditunjukkan oleh si turis.
Karena letaknya tidak jelas, Mbak Tina sempat beberapa kali bertanya ke penduduk lokal. Kendala bahasa jelas berpengaruh karena umumnya warga tidak mengerti bahasa Inggris. Akhirnya, dipilih bahasa isyarat. Saya salut dengan keberanian Mbak Tina dalam bertanya. Akhirnya setelah beberapa kali bertanya arah, kami tiba di suatu kuil. Namun tidak ada tanda-tanda tengkorak di dalamnya. Menurut kami, kuil tersebut lebih mirip kuil yang diperuntukkan bagi dewa penguasa lautan, tempat nelayan lokal memohon doa keselamatan ketika berlayar di Laut Cina Selatan. Merasa tertipu dan waktu yang terbuang cukup banyak, kami bergegas kembali ke halte tempat kami tadi turun dan menunggu bus untuk kembali Mui Ne.
Kuil Thuy Tu, Phan Thiet.
Bus ternyata belum tiba di dan kami membeli es tebu karena haus. Sialnya, ketika pesanan sedang dibuatkan, bus tiba dan hanya berhenti sebentar untuk menurunkan penumpang lalu berangkat kembali. Kami pun menunggu hingga 30 menit. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 14.00, kami tidak punya pilihan selain menggunakan taksi untuk kembali ke Mui Ne. Untungnya, Mailinh Taxi tersedia di sini. Perjalanan dari Phan Thiet ke Mui Ne menggunakan taksi memakan waktu 20 menit dengan biaya ₫75.000.
Saat kami tiba di depan hotel, jip sudah menunggu dan teman-teman kami sudah bersiap untuk tur. Setelah meminta maaf kepada pengemudi jip dan teman-teman lain, kami lalu bergegas ke tujuan pertama sore itu,
Fairy Stream, sebuah tempat di pinggir gurun dan di sisinya terdapat sungai yang kecil yang dapat dilalui dengan berjalan kaki. Mungkin dinamakan
Fairy Stream karena sungai dangkal ini seperti keajaiban bisa muncul di samping bukit pasir, dan beberapa mata air sungai berasal dari bukit pasir, seperti negeri dongeng.
Ketika kami sampai di tempat itu, sudah banyak jip lain yang parkir di tepi jalan. Kami diberikan waktu untuk berkeliling tempat ini sekitar 15 menit, waktu yang singkat karena kami memang telat berangkat. Untuk menuju ke
Fairy Stream, kami berjalan melewati ladang penduduk, dan ketika kami akan turun ke sungai banyak anak-anak remaja yang menawarkan penitipan alas kaki. Kami sudah menduga ini adalah
scam. Dan benar saja, ada sepasang turis muda yang tertipu oleh "kebaikan" mereka. Ketika akan dibayar, anak-anak ini menolak uang "receh" dan meminta nominal yang jauh lebih besar. Mereka tidak segan-segan untuk mengikuti orang yang menitipkan alas kaki ini sepanjang
Fairy Stream untuk menunjukkan niat baik mereka. Rupanya mereka bagian dari komplotan yang lebih besar. Hal ini saya ketahui ketika pulang dan menemukan mereka sedang membagi-bagi pendapatan pada hari itu, cukup banyak jumlah mereka, belasan anak. Untuk menghindari aksi mereka, diperlukan ketegasan untuk bilang tidak, dan bawa sendiri alas kaki ketika menyusuri tempat ini.
Berjalan Kaki ke Fairy Stream. Anak yang menghadap kamera adalah pelaku scam. Photo Courtesy Richard
Saya dan Reza berjalan kaki hingga ke hulu, dan menemukan tempat istirahat di pinggir sawah tempat padi baru saja ditanam. Sedangkan teman yang lain belum berjalan sejauh itu. Ketika kembali saya bertemu sepasang turis asing sedang mandi lumpur, yang menurut mereka baik untuk kesehatan. Saya hanya bisa menggelengkan kepala sambil berlalu.
Fairy Stream. Photo Courtesy Richard
Tidak jauh dari
Fairy Stream, kami berhenti sejenak di pinggir jalan di atas tebing perkampungan nelayan di pinggir Laut Cina Selatan. Tampak ratusan kapal berbagai ukuran di bawah kami sedang ditambatkan. Kami tidak mengunjungi perkampungan tersebut dan melanjutkan ke tujuan berikutnya yaitu
Yellow Sand Dunes.
Perkampungan Nelayan di Mui Ne. Photo Courtesy Richard
Bukit pasir di Mui Ne ini terletak di pinggir pantai. Angin yang berhembus dari laut membawa butiran pasir yang menjadi semakin banyak dan akhirnya membentuk bukit. Fenomena ini mirip dengan bukit pasir di Pantai Parangkusumo, DI Yogyakarta atau
Tottori Sand Dunes, Tottori City, Jepang. Tempat ini adalah tujuan utama kami ke Mui Ne, Vietnam, karena tampak seperti berada di padang pasir di Timur Tengah. Namun, kembali dengan dalih tidak ada waktu, kami hanya dibatasi 20 menit di sini dan tidak bisa berjalan jauh ke tengah bukit. Sopir jip menyarankan kami menyewa kendaraan
all terrain vehicles untuk berkeliling, yang setelah kami tanyakan harganya tidak masuk akal. Lalu kami putuskan untuk berjalan kaki saja.
Yellow Sand Dunes. Photo Courtesy Richard
Danau di Yellow Sand Dunes. Photo Courtesy Richard
Karena tidak harus berjalan jauh seperti di
Fairy Stream, kami cukup puas mengambil banyak foto di sini, dan bisa memenuhi batas waktu yang ditetapkan sopir jip. Namun ketika kami kembali ke jip, sang sopir tidak ditemukan. Setelah menunggu beberapa saat, kami putuskan untuk mencarinya. Ternyata ia sedang main kartu remi dengan sesama rekan sopir.
Dalam perjalanan kembali dari
Yellow Sand Dunes, sopir sempat berhenti di suatu tempat yang dikenal oleh masyarakat lokal sebagai
Mini Grand Canyon. Menurut saya, tempat tersebut lebih mirip aliran sungai yang kering dengan kedalaman sekitar 10 meter. Tidak sedramatis
Grand Canyon yang sedalam ratusan meter. Kami tidak turun menelusuri
Mini Grand Canyon, hanya mengambil foto dari atas tebing seperti di perkampungan nelayan tadi.
Mini Grand Canyon. Photo Courtesy Richard
Terakhir, kami pergi ke bukit pasir kedua, yaitu
Red Sand Dunes. Mirip dengan
Yellow Sand Dunes, hanya saja bukit pasir ini berwarna merah, bukan kuning dan terletak di pinggir jalan raya, cukup jauh dari bibir pantai. Kami menikmati matahari terbenam di tempat ini. Sekitar pukul 18.00, kami menyudahi tur dan pulang ke hotel. 30 menit kemudian kami tiba di hotel.
Red Sand Dunes. Photo Courtesy Richard
Setelah itu kami makan malam di restoran
seafood pinggir pantai di samping hotel. Harganya cukup murah, dan setelah kenyang kami kembali ke hotel untuk mandi dan beristirahat setelah seharian yang melelahkan.
(bersambung)...